Kucing Besar dari Lereng Lawu
Tuesday, November 17, 2015Beberapa hari yang lalu sahabat aku sesama blogger menceritakan
tentang hewan kesayangannya, kucing. Adalah Anwar badan gede muka garang
penampilan punk tapi hatinya pink. (Mhihihihi…ampun war). Dia penyuka
kucing.
Singkat cerita, tulisanya tantang si hewan berbulu ini
si share sama komunitas blogger lainya. Mulailah aku teringat kucingku
dulu, iya dulu.
Duduklah manis, siapkan cemilan dan tenangkan
fikiran. Kisah ini mungkin sedikit agak komplex. Dan perlu tenaga super
untuk mengingat kucingku yang satu ini.
Long time ago, ada
seorang gadis kecil usianya baru 4th. Mau masuk TK tapi belum boleh
karena usianya masih kurang. Si kecil ini kasian sekali di usinya yg
terbilang balita harus dipisahkan dari ayah dan ibunya. Ayah dan Ibu
tinggal di Cepu kota kecil yang tergolong ramai dengan segala kemudahan
fasilitas, tapi sayangnya si kecil belum paham tentang itu. Eyang kakung
dan mbah putrinya tinggal di desa kecil dan terpencil namanya ngemplak
magetan, tepatnya dilereng gunung lawu. Dapat dipastikan disana amat
sangat dingin sekali.
Malangnya gadis kecil itu adalah saya !!
Karena
pasangan eyang kakung dengan mbah putri hanya memiliki anak tunggal
yaitu ayahku, anak kecil yang sok bijak itu (umur 4 th udah pinter nyuci
piring), mbah kakung meminta agar cucunya tetap tinggal di lereng lawu.
Dan membiarkan kedua orang tuanya kembali ke perantauan (cepu).
Menangislah
aku sejadi jadinya. Seolah tidak mau dipisahkan oleh kedua orang tuaku,
tapi mau bagaimana. Aku ditinggalkan dilereng lawu. Bersama eyang
kakung dan mbah putri, kakek nenekku sangat menyayangiku. Apapun yang
aku minta sebisa mungkin dituruti.
Tapi sepertinya tidak mempan,
setiap harinya aku hanya diam memperhatikan mbah kakung sibuk menyuruh
nyuruh anak buahnya untuk mengangkat hasil panen. Mbah putri pula sibuk
bercerita dengan sesama temanya tentang harga jagung kalo tidak salah,
akh aku lupa.
Berasa tidak diperhatikan aku murung tak mau makan
dan sakit sakitan. Tiap malam hanya jaket tebal bekas pakai ayah dan
ibuku yang aku peluk. Sepertinya aku merindukan ayah dan ibuku waktu itu
(akh.. andaikan aku tau). Sambil menangis aku mengigau memanggil ayah
dan Ibuku. Sia sia saja… !
Mereka tidak akan mendengar.
Esok
paginya, sperti biasa aku dibiarkan main sendirian di pekarangan yang
terbilang luas itu. Aku naik turun bukit lari sana sini untuk menangkap
capung yang setelah itu dipreteli sayapnya kasian sekali hewan itu.
Sayangnya aku belum punya nalar.
Gedubrak,… glundung
glundung glundung. Aku jatuh … !! Terperosot di tengah tengah kebun yang
berbatu, keseleo dan tak bisa jalan.
Sontak kakek nenek beserta anak buah mereka yang yang lain mencoba meredakan tangisanya, si bos kecil… !!!
Inget sekali ada yang menipuku mau dibawakan kambing guling biar aku ga
nangis lagi. Entah apa fungsinya kambing guling cobak ???
Keesokan
paginya aku dibawa ke tukang urut. Mbah panut namanya… nenek tua yang
hidup sebatang kara. Rumahnya belum ada listrik hanya diterangi lampu
saja.
Dengan digendong mbah putri,aku dipijat oleh mbah panut.
Walau pertamanya takut aku mulai nyaman dengan pijatanya. Tangan
keriputnya dengan lihai memijat kaki kecilku.
Tak lama kemudian
datang kucing besar bewarna kuning yang pesek hidungnya dan buntutnya
bundel (mirip garpield). Dia adalah kucingnya mbah panut.
Kubuka mataku lalu aku menghentikan isak tangisku dan mulai bermain dengan kucing itu.
Unyu unyu sekali pikirku….
Saat pulang, kucing kuning itu mengikuti langkahku. Lalu mbah panut bertanya
“La putumu sajak e seneng ro kucingku, tok gowo balik piye mbah ?”
Aku yang tak paham hanya diam tanpa berhenti mengelus elus badan kucing besar yang baru ditemuinya.
Pendek
cerita, kucing gendut itu dibawa pulang oleh sang nenek. Disitu bermula
kebahagiaanku. Kesehariaku disi dengan bermain bersama kucing besar
yang diberi nama ^puspita^ itu. Panggulanya puss… sama kayak namaku,
Emawati Puspita Ningrum.
Dibelikanya rumah rumahan kucing, selimut tebal. Lengkap dengan tempat makanan dan susu.
Aku tiap hari meminta nenek menyediakan ikan asin di kotak persedian. Karen itu makanan utama puss.
Biasanya
dia menggeleper di depan rumah ketika dia kekenyangan. Lucu nya ketika
aku pergi kepasar dengan nenek dan akung. Kamu selalu menitipkan rumah
sama pus…
“Puss jaga rumah ya ..”
“Meow meow…” jawabnya…
Seketika itu juga. Di merunduk melipat kalinya kedalam dan memandangi rumah dri pekarangan…
Begitu yang ia lalukan sampe kami pulang dari pasar.
Hal ini membuatku terharu, dia selalu lari mengejarku jika aku pulang dr bepergian.
Dan menggesek gesekan tubuhnya dikakiku…
Akh aku merindukanmu puss.
Waktu terus berlalu. Sampai akhirnya aku berumur sekitar 10th (kelas 5sd). Orang tuaku menjemputku dari lereng lawu.
Mereka ingin membawaku berpindah ke cepu. Selamanya…. !!!
Sekolah
di kota lebih bagus katanya lagi. “Bu bolehkah aku membawa kucing ?”
Tanya ku memelas. “Ngak usah, arep tok gawe opo ????” Jawab ayahku.
Emang pada dasarnya ayah ga suka kucing sih.
Finally, aku tinggalkan dia di pagi yang mendung. Berat sekali meninggalkanya.
Dia menangis, wajahnya sendu…
Kucingku aku akan merindukanmu.
Setiap
setahun sekali aku masih pulang ke magetan tempat kakek nenek ku
tinggal. Waktu itu blm ada handphone. Jadi aku tidak bisa selalu
menanyakan kabar kucingku.
Sampai suatu ketika. Aku kesana dan mencari cari “pusspita”.
“Kucing e kae wes mati ngono lo nduk.. loro rak gelem maem”
“Hlo… mbah putri kok ga bawa ke dokter leh…” tanya ku.
“Akh mandak kucing ae lo… mengko golek meneh ”
Bagaimanapun, aku harus merelakanya pergi.
Aku merindukanmu puss… tingkahmu eranganmu bulu halusmu…
Akh sungguh aku rindu.
0 komentar