Save Mary Jane, Jokowi Jangan Diam !

Monday, April 27, 2015

Hari ini teman teman jurnalis dari PSDBM BMI dikota kota besar galang solidaritas untuk mendesak pemerintah/Presiden memberikan pemaafan terkait hukuman mati yang dijatuhkan kepada Pekerja Migran Filipina (mary Jane) kronologi dan tuntutannya seperti ini:

.:: Pernyataan Sikap ::.
LINDUNGI BURUH MIGRAN
SELAMATKAN MARY JANE DAN 278 BURUH MIGRAN INDONESIA
DARI HUKUMAN MATI!
TEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA

Kami organisasi buruh migran, organisasi buruh, LSM dan masyarakat Indonesia menyatakan dukungan terhadap Mary Jane, buruh migran asal Filipina untuk segera dibebaskan dari hukuman mati di Indonesia, serta menyelamatkan 278 Buruh Migran Indonesia (BMI) yang terancam hukuman mati di beberapa negara penempatan. 

Mary Jane sejatinya dalam situasi yang sama seperti buruh migran asal Indonesia, Ia bekerja ke luar negeri bukan untuk tujuan kriminal, melainkan berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak bagi anak dan anggota keluarganya. Namun kondisi kerja dan tidak adanya perlindungan dari negara, membuatnya terperangkap dan dijadikan alat oleh sindikat pengedar narkoba Internasional. 

Mary Jane adalah pekerja rumah tangga migran berusia 30 tahun dan Ibu tunggal dari dua anaknya (Janda), Ia berasal dari keluarga miskin yang nasib-nya tidak jauh berbeda dengan sebagian besar rakyat Indonesia. Bapaknya hanya seorang buruh perkebunan tebu musiman dan Mary Jane membantunya dengan menjadi pengumpul dan penjual barang bekas (pemulung). Akibat kemiskinan yang dialaminya, Mary Jane terpaksa menjadi buruh migran dengan harapan mampu memperbaiki nasib serta penghidupan keluarganya. 

Setelah 10 bulan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Dubai, Mary terpaksa kabur dari rumah majikannya, karena trauma akibat dua kali percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh sesama PRT yang bekerja dalam satu rumah dengannya.  Dengan harapan dan semangat untuk hidup layak bagi keluarga dan dapat membiayai pendidikan kedua Anaknya, Ia terpaksa harus kembali bekerja sebagai Buruh Migran. Mary Jane Veloso dipaksa membayar biaya keberangkatan untuk bekerja ke Malaysia dengan menyerahkan sepeda motor dan telepon genggamnya senilai 7000 Peso kepada Maria Kristine P. Sergio, calo yang merekrutnya. 

Tidak hanya itu, Ia juga diwajibkan melunasi kekurangan/sisa biaya penempatannya dengan pemotongan 3 bulan gaji saat bekerja.
Pada keberangkatan yang kedua inilah Mary Jane mendapatkan petaka yang kini mengantarnya pada hukuman mati di Indonesia. Alih-alih dijanjikan bekerja di Malaysia, Mary Jane justru menjadi korban perdagangan orang yang dilakukan Maria Kristine P. Sergio. Saat tiba di Kuala Lumpur Malaysia, bukan pekerjaan yang didapat, namun Mary hanya menerima tas, uang saku US$500 dan tiket pesawat ke Indonesia. Mary dijanjikan pekerjaan di Malaysia dengan dalih harus menemui seseorang di Indonesia terlebih dahulu. 

Tas Koper yang diberikan Mary Jane dan tanpa sepengetahuannya telah dimasukkan heroin seberat 2,6 kg dengan cara diselipkan di dalam koper yang telah dijahit. Akibat barang tersebut, Mary Jane kemudian ditangkap di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta atas tuduhan memperdagangkan narkoba.
Kronologi di atas adalah fakta bahwa Mary Jane hanyalah korban penipuan dan TIDAK LAYAK dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia. Mary Jane bukanlah pedagang narkoba, melainkan korban sindikat narkoba yang menggunakan modus penempatan pekerja migran untuk dijadikan kurir narkoba.

Selama persidangan, Mary Jane juga menjadi korban kelalaian pemerintah Filipina, karena gagal memberinya bantuan hukum yang memadai sehingga pembelaannya lemah dan berakhir pada vonis hukuman mati. Selama proses peradilan, Mary Jane Veloso tidak didampingi oleh ahli bahasa atau penerjemah yang kompeten sesuai dengan bahasa yang dikuasainya yaitu bahasa Tagalog, sehingga tidak memahami Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan proses persidangan atas kasusnya sendiri.

Kesalahan ini mengakibatkan tidak terungkapnya fakta peristiwa sesungguhnya yang terjadi dan dialaminya. Mary Jane sebagai korban perdagangan manusia tidak dapat terungkap di pengadilan dan tidak dijadikan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan kepada Mary jane. Begitupun penasehat hukum yang disediakan pada tingkat pengadilan tingkat pertama hanya menemuinya saat persidangan berlangsung, sehingga tidak memberikan bantuan hukum yang komprehensif.
Peristiwa yang dialami oleh Mary Jane saat ini, sesungguhnya tidak berbeda dengan Puluhan BMI yang telah melawati hukuman mati di berbagai negara penempatan, serta 278 lainnya yang saat ini masih dalam ancaman yang sama. Buruh migran banyak mengalami kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran HAM hingga hukuman mati.
Saat ini 8 juta lebih jumlah buruh migran Indonesia tersebar di 76 negara dan pemerintah menargetkan pengiriman buruh migran 1 juta pertahun. Sementara itu, pengiriman buruh migran ke berbagai negara tidak pernah disertai dengan perlindungan untuk keamanan, jaminan bantuan hukum (saat hadapi masalah), serta jaminan keselamatan dari Pemerintah. Faktanya, sebagaian besar buruh migran yang mengalami kekerasan, pelecehan seksual dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM lainnya, bahkan hingga hukuman mati, tidak dapat disalamatkan oleh Pemerintah Indonesia, seperti Zaenab dan Karmi yang dihukum mati baru-baru ini.

Hidup Mary Jane Veloso kini hanya di tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak istimewa sebagai pemimpin bangsa Indonesia untuk membebaskan Mary Jane dan buruh migran lainya dari hukuman mati. Hukuman mati yang diberikan kepada Mary Jane juga akan mencabut hak kedua anaknya untuk memiliki seorang ibu yang peduli dan berjuang unuk menghidupi keluarganya. Agenda tahap kedua eksekusi mati yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap terpidana mati Mary Jane, telah ditetapkan pada 28 April 2015. Grasi yang diajukan Mary Jane pada Presiden Jokowi telah ditolak, begitupun dengan sidang pengajuan kasasi pertama.

Penerapan hukuman mati di Indonesia dan Eksekusi yang akan diterima Mary Jane saat ini, tentu saja akan dapat menjadi penghambat bagi pembebasan 278 warga Negara Indonesia yang saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai Negara, Malaysia, Arab Saudi, Qatar, China dan Singapura.

Di samping itu, jika eksekusi hukuman mati bagi Mary Jane terus dilanjutkan, maka peristiwa tersebut akan semakin memperkuat fakta ketidakadilan dan diskriminasi hukum yang masih kental di Indonesia, dimana masih adanya pembedaan perlakuan hukum yang cenderung tajam ke bawah (kepada rakyat). Sebab sejatinya, peredaran Narkoba di Indonesia tidak akan pernah dapat tersebar luas dengan begitu cepatnya jika hanya mengandalkan kurir, melainkan adanya sindikat dan kartel Narkoba yang tentu saja tidak akan dapat beroperasi tanpa surat ijin atau minimal keterangan bebas masuk dari Pemerintah. Dengan banyaknya fakta yang ada, bahkan tidak ada jaminan bahwa semua pejabat dan jajaran pemerintah-pun bebas dari cipratan barang haram tersebut, baik sebagai pemakai atau bahkan jaringan sindikat itu sendiri.

Celakanya, tidak pernah satupun ada pejabat ataupun gembong besar Narkoba di Indonesia yang pernah mendapatkan hukuman serupa.
Selanjutnya, berbicara soal hukum dan pelanggaran atau kejahatan yang dapat dikenakan hukuman mati selain narkoba yakni Korupsi, terorisme dan pelanggaran HAM berat, maka terang hukum Indonesia tidak pernah berdiri secara tegak dan konsisten. Kenyataannya, berbagai kasus korupsi yang menggeret banyak nama pejabat pemerintah, tidak pernah mendapatkan penyelesaian yang lebih kongkrit, bahkan senantiasa mendapatkan perlakuan khusus. Demikian pula dengan pelanggaran HAM berat yang nyaris telah menjadi warna khusus dalam persoalan pokok Rakyat Indonesia, dimana perampasan dan monopoli atas tanah senantiasa dibarengi dengan berbagai tindak kekerasan yang telah banyak mengorbankan kaum tani, dimana umumnya dilakukan oleh Aparat keamanan (TNI-POLRI) yang tidak pernah sama-sekali disentuh hukum atau bahkan proses pengadilan.
Kenyataan-kenyataan tersebut, terang membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak pernah secara objektif memandang kedudukan Rakyat, tidak pernah adil menggunakan hukum. Ini membuktikan bahwa Pemerintah memang tidak pernah berpihak kepada Rakyat. Demikian pula jika ditinjau dari perspektif HAM yang mana memiliki ketegasan hakiki yang tidak dibenarkan adanya pelanggaran, apalagi sampai penghilangan nyawa seseorang yang bahkan telah melampaui kewenangan tuhan.

Artinya bahwa, Eksekusi Mary Jane mendatang, jika tidak dapat dihentikan oleh pemerintah, khususnya di bawah pemerintahan Jokowi saat ini, akan secara lansung menegaskan bahwa pidato Jokowi yang menyatakan penghormatan dan komitmennya untuk penegakan HAM seperti yang diserukan dalam pidatonya di hadapan Forum Asia Afrika 4 hari yang lalu hanyalah ilusi dan menjadi sebuah kebohongan besar kepada dunia internasional.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka Kami dari Jaringan Buruh Migran Indonesia-di Indonesia menyetakan Sikap, “Mengecam Ketidakadilan dan Diskriminasi Hukum di Indonesia!, Eksekusi Mati Mary Jane adalah bukti tidak adanya toleransi dan keberpihakan Pemerintah kepada rakyat miskin yang sejatinya adalah korban penipuan, perdagangan manusia, kesalahan prosedural hukum dalam proses peradilan, serta korban kemiskinan sistemik yang sudah demikian akut”. 

Bersama ini, Kami juga Menuntut:
1. Tolak Hukuman Mati-Selamatkan Mary Jane
2. Selamatkan 278 BMI diluar Negeri dari hukuman mati!
3. Tegakkan HAM dan berikan perlindungan sejati bagi BMI dan keluarganya!
Jakarta, 27 April 2015
Sumber : Fathulloh Muzammiel redaksi dan koordinator Pusat Sumber Daya Buruh Migran - Jogyakarta.
^^ Fathulloh numpang re post di blog aku ya ☺☺☺

You Might Also Like

0 komentar

Communities

Blogger Perempuan