Siapa yang pernah mencoba kedua jenis jasa penyedia makan dan minum tersebut dalam judul di atas?
Saya baru saja hedon di Starbucks, kebetulan dapat uang jajan yang di-reimburse panitia. Sungguh sebuah kesempatan merasakan kemewahan, to try something that looks cool.
Saya hanya mantan mahasiswa langganan warung lalapan, warung tegal, mie ayam dan nasi goreng gerobakan. Saya hanya kaum pekerja biasa di Pulau Jawa.
Starbucks adalah Sebuah Kemewahan
Lepas maghrib, saya ditawari teman, sesama penjemput tamu luar negeri untuk konferensi ilmiah kami di Batu, makan sego bungkus pitungewuan, nasi bungkus 7000an. Seorang ibu dan anak lakinya berjualan nasi campur yang sudah dibungkus dan diikati karet. Ada yang lauknya ayam, ikan lele (?), dan bandeng, dll.. Ibu itu juga menjual beraneka minuman sebangsa kopi dan teh dengan bermodal dua buah termos air panas dan gelas-gelas plastik. Ibu menjajakan makanan dan minuman di dekat parkiran taksi bandara–tentu saja ini ilegal.
Kami menjemput para tamu yang turun di T2 Juanda Airport. Teman yang satu ini kebetulan lihat ibu-ibu dikerumuni supir pas parkirin mobil. Sayapun ikut makan bareng dia bersama 7-8 supir taksi bandara yang tampaknya sedang ngaso nunggu giliran narik.
Sebungkus nasi harganya 7000an, segelas kopi 2000an. Dua parameter ini sudah cukup untuk membandingkan kemewahan yang baru saja saya nikmati di Starbucks. Almond Croissant 20000 dan Green Tea Latte without whipped cream in venti size seharga 57000 (?). It’s good to experience yourself before commenting, comparing, or even criticizing foreign products, I thought. Sebenarnya saya ke Starbucks cuma karena mau internetan, butuh bikin slide yang bahannya dari blogjurusankuliah.tumblr.com.
Dari segi harga tentu agak sulit membandingkan Starbucks dan ibu penjual nasi bungkus keliling. Harga tentu sangat erat dengan modal dan daya tawar. Ibu itu modalnya simpel banget, the least cost possible. Coba bandingkan dengan bagaimana Starbucks telah investasi untuk interior, melatih dan menjaga standar pelayan, riset pasar dan perilaku konsumen, dan tentu saya kebutuhan teknis lainnya seperti microwave, coffee maker, blender, dan lainnya.
Lalu apakah ibu itu “berhak” menjual nasi bungkus seharga 10000 atau 15000? Itu namanya bunuh diri. Si ibu paham bahwa dirinya ada untuk menjawab sebuah masalah. Pasarnya (hanya) supir taksi dan supir travel yang pengen ngirit–butuh makan nasi, gorengan, ditemani kopi atau teh. Di sisi lain, Starbucks datang untuk menawarkan value dan user-experience. Kamu bisa dapatnya free wi-fi, nice “personal” service, soft cushion, cozy interior, dan tentu saja makanan khas Barat yang lumayan sedap. Jadi, dari model bisnisnya sudah beda.
Supply datang setelah demand untuk kasus pertama. Sedangkan Starbucks sebaliknya. Mereka yang datang ke ibu sego keliling karena tidak punya pilihan. Sedangkan, yang datang ke Starbucks karena punya pilihan. Beda.
Beyond Starbucks
Saya menemui obrolan di Starbucks lebih berisi, secara intelektualitas dan urgensi. Beda dengan makan di parkiran bareng supir atau bersama mahasiswa yang lagi rehat dari rutinitas. Tapi, mungkin kebetulan saja sih saya dapat “ngupingan” yang asyik punya di Starbucks tadi. Bagaimanapun, jarang saya dengar obrolan tentang politik, tren sosial, dan perubahan di warung-warung. Kalau tidak soal artis, urusan pribadi orang lain (baca: gosip), dan hal remeh seperti si anu berantem, si anu beli itu, dan si netron. Mungkin saja pengunjung Starbucks akan bergosip juga atau ngomongin instagram artis, tapi saya belum dengar.
Dahulu, inovasi dan ide besar muncul di warung-warung kopi (tapi bukan warkopnya orang Melayu seperti yang diceritakan Andrea Hirata). Mungkin dewasa ini juga masih begitu. Starbucks menawarkan keeleganan dan perasaan keren. A place does affect mood. When you are in the right place, you will behave, your mind will also “behave”. Duduk di trotoar sambil menikmati sego bungkus dan segelas plastik kopi susu hanya membuatmu meratapi nasib bersama debu di jalan dan baju kuyup keringat para supir–atau menghibur diri dengan gelak tawa di atas derita kawan sejawat yang ketiban sial. Singkatnya, kita membayar mahal untuk berada di dunia yang berbeda saat makan atau mengopi di Starbucks.
Buat kamu pebisnis muda, ini saatnya membuat tandingan Starbucks, karena kurang lebih kita sudah tahu alasan-alasan orang ke Starbucks. Buat kamu para penggiat diskusi, yuk mulai menciptakan tempat asyik yang membuat kawan-kawan ter-setting untuk mengeluarkan ide-ide mutakhir dan membicarakan hal besar yang signifikan. (They seem not to talk about poverty at places like Starbucks).
Bicara soal Starbucks maka kita harus menjabarkan sebuah model bisnis, bukan sekadar mengumpati harganya yang lima sampai 20 kali lipat lebih mahal dibanding harga warungan. Bicara soal Starbucks berarti mengamini bagaimana warkop berkelas punya peminat yang tidak sedikit saat ekonomi orang Indonesia membaik…sebagiannya–sebagian dari populasi berarti jutaan potential customers–, dan kamu bisa mengambil sebagian marketshare Starbucks dengan “iming-iming” user-experience yang tidak kalah keren, misalnya “kopi anak semua bangsa” atau “kantin (calon) negarawan”. Ada banyak isu yang bisa diambil untuk sebuah deliverable pemasaran sebuah warung kopi. Dan tolong jangan asal keren, karena dewasa ini masyarakat Indonesia makin (superficially) critical dan pemasaran yang bagus adalah yang disertai narasi dan kurasi yang masuk akal dan bikin pelangga merasa keren.
It’s cool to feel good. It’s good to discuss cool stuff
, more deeply and seriously.
Aseli Keren mas \m/
Re_blog
Muhhamad Bening
Teks asli
http://muhammadbening.wordpress.com/2014/09/25/starbucks-dan-sego-bungkus-keliling/